Teror dan Provokasi: Ketika Demokrasi Terancam oleh Dua Arah

Dalam beberapa waktu terakhir, dua peristiwa mengganggu kehidupan demokrasi kita:

• Teror Kepala Babi ke Tempo: Insiden ini, di mana kepala babi dikirim ke kantor redaksi Tempo, merupakan serangan pada kemerdekaan pers. Tindakan ini mengandung simbol kebencian dan menyasar lembaga media.

• Provokasi terhadap Presiden di Media Sosial: Seruan pembunuhan secara terbuka, termasuk pengaitan tak berdasar antara kendaraan presiden dengan tragedi JFK, muncul dalam upaya memprovokasi.

Kedua peristiwa ini bukan sekadar kontroversi atau ekspresi marah sesaat, melainkan representasi politik intimidasi. Mereka menggunakan kekerasan simbolik dan digital untuk mengguncang institusi demokrasi, dengan mengancam kebebasan berekspresi dan legitimasi pemerintahan.

Ancaman Ekstremis di Luar Sistem Demokrasi

Tindakan ini merupakan bentuk baru dari politik intimidasi, dilancarkan oleh aktor ekstrem yang beroperasi di luar sistem formal. Mereka memanfaatkan ruang digital dan polarisasi publik untuk menciptakan instabilitas.

• Media Sosial sebagai Sarana: Melalui akun anonim dan taktik trolling, provokasi terukur disebarkan untuk membentuk opini dan memancing reaksi. Seruan berbahaya dikemas dalam lelucon, meme, dan referensi budaya populer.

• Mengguncang Sistem dari Dalam: Kelompok ekstrem tidak hanya ingin menggantikan pemerintahan, namun juga merusaknya dengan menghasut ketidakpercayaan terhadap media dan negara. Mereka berusaha melemahkan demokrasi melalui serangan terhadap pilar-pilarnya.

Perlunya Tindakan Serius

Penting untuk segera mengungkap dan menindak tindakan seperti teror terhadap media dan seruan kekerasan, sebelum menciptakan preseden berbahaya. Penegakan hukum diperlukan, namun yang tak kalah penting adalah sikap moral kolektif dalam menolak ekstremisme dalam segala bentuknya.

Kepedulian dan kewaspadaan dari seluruh lapisan masyarakat diperlukan untuk menjaga kesehatan ruang demokrasi. Mengabaikan ancaman ekstremisme, baik dalam bentuk simbolik maupun digital, dapat meruntuhkan demokrasi jauh sebelum ancaman kekuasaan otoriter.